Senin, 31 Mei 2010

GIARDIA


GIARDIA
Spesies dari genus ini menyebabkan giardiasis, merupakan penyakit yang lebih dikenal terjadi pada manusia dengan salah satu gejala klinis diare, tetapi penyakit ini juga dapat menyebabkan diare pada hewan. Parasit ini dapat menyebar secara luas, sering ditemukan pada induk semang yang sehat. Infeksi silang dari induk semang dapat terjadi. Diperkirakan giardiasis adalah suatu kejadian zoonosis.


GIARDIA LAMBLIA

Giardia lamblia ini ditemukan di dalam usus halus dan kadang-kadang dalam kolon manusia. Juga telah ditemukan pada kera dan babi. Secara percobaan dapat ditularkan pada tikus-tikus di laboratorium (Haiba, 1965). Parasit ini lebih lazim terdapat pada anak-anak dan dianggap Flagellata yang paling umum pada manusia.

Parasit ini sudah diidentifikasi oleh Leewenhoek pada tahun 1681, dengan menggunakan mikroskop konvensional; dia menemukannya saat memeriksa tinja encer dari seorang penderita diare. Parasit ini ditemukan di semua negara di dunia. Penularan dimulai dari menelan parasit dalam bentuk kista. Dinding kista yang tebal akan pecah terkena asam lambung, dan keluarlah bentuk tropozoit Bentuk tropozoit segera membelah dua, dan bergerombol dengan parasit lain di daerah usus halus, yang kemudian mulai menimbulkan gejala gangguan saluran cerna. Bentuk tropozoit ini mirip buah pear yang dibelah dan mempunyai sepasang cambuk (flagella) untuk membantu bergerak dan berenang bebas di dalam lumen usus. Bentuk tropozoit ini kontak dengan cairan empedu, mengubah campuran makanan dan enzim pencernaan, Kemudian mulai menembus lapisan selaput lendir usus, sambil terus membelah memperbanyak diri sampai bertahun tahun.

Bentuk tropozoit ada yang mati karena enzim pencernaan dan ada yang berubah menjadi bentuk kista berdinding tebal dan keras. Yang ikut aliran cairan usus, akan ikut keluar bersama kotoran, mencemari air sungai, air danau, air selokan, atau mata air di pegunungan. Parasit G. lamblia mencemari air permukaan, bersama-sama
• Virus Hepatitis A, menyebabkan sakit kuning (hepatitis)
• Kuman Salmonella menyebabkan penyakit demam tipus,
• Kuman Campilobacter menyebabkan diare pada manusia yang tertular melalui konsumsi daging babi, atau susu mentah.
Sanitasi air minum perlu diperhatikan untuk menghindari penularan parasit, virus dan kuman penyebab penyakit tersebut.


Morfologi
Giardia lamblia berbentuk seperti buah pir sampai elips dan bilateral simetris. Bagian depan membulat serta pada bagian belakang meruncing. Sisi dorsal cembung dan sisi ventral cekung dengan cakram penghisap “sucker disk” yang besar pada setengah bagian depan atau seperti sebuah raket tenis tanpa pegangan dan memiliki penampilan seperti wajah yang lucu (Soulsby, 1982; Smyth, 1981). Giardia memiliki dua inti, dua aksostil, delapan flagella yang tersusun dalam empat pasang, dan sepasang nukleolus yang tampak hitam dan terdapat pada bagian median. Kista Giardia mempunyai dinding tebal dan oval dengan panjang 8-14 mikron, rata-rata 10 mikron. Kista masak mengandung empat inti.




Siklus Hidup


Giardia mempunyai habitat pada saluran pencernaan dari induk semang. Pada umumnya berada pada usus halus yaitu duodenum, jejenum, dan bagian atas dari ileum, kadang-kadang dapat ditemukan pula dalam saluran empedu dan kantong empedu. Protozoa ini tinggal melekat pada permukaan sel epitel usus dengan cakram penghisap. Organisme bergerak dengan flagella bahkan bisa melawan arus peristaltik usus.
Bentuk troposozit memperbanyak diri dengan pembelahan secara memanjang dan terjadi dalam usus halus. Protozoa ini mengambil makanan dari sel usus halus tetapi dapat juga mengambil makanan dengan melisis sel epitel tempat dimana organisme menghisap. Kehadiran parasit ini menyebabkan usus halus menghasilkan eksudat kataral. Toksin yang dihasilkan akan bercampur dengan makanan dalam usus halus dan menyebabkan kerusakan bahan makanan yang akan diserap oeh tubuh. Giardia dengan pergerakan flagella juga menyerap lemak dan beberapa zat makanan terutama vitamin A, akibatnya penderita mengalami defisiensi vitamin A dan juga penurunan berat badan. Bila kantong empedu yang terinfeksi, maka dapat terjadi penyakit kuning dan kulit. Bentuk kista dapat keluar bersama tinja yang mengalami diare, dan kadang-kadang dapat ditemukan bentuk trofozoit. Penularan giardiasis terjadi melalui kontak langsung dengan kista dalam makanan, minuman, tangan atau pakaian yang terkontaminasi.

Patogenesis
Ada perbedaan pendapat mengenai arti G. lamblia pada manusia. Mungkin kebanyakan infeksi itu tidak memperlihatkan gejala, tetapi pada beberap infeksi, terutama pada anak-anak ada hubungan dengan diare yang subakut sampai menahun dan ransangan duodenum yang disertai dengan produksi lendir yang berlebih-lebihan. Suatu peninjauan kembali terhadap patogenitas G. lamblia, Pizzi (1957), menyatakan bahwa metabolisme lemak yang terganggu dapat menghasilkan kekurangan akan vitamin-vitamin yang dapat larut di dalam lemak. Tidak ada bukti G. lamblia mempunyai arti patogen pada kera dan babi.

Gejala Klinis
Umumnya penderita mencret, kejang perut, kembung, mual, tinja buyar, berlemak, berat badan turun, badan lemah. Infeksi parasit G. lamblia, bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai diare yang berat gangguan penyerapan, hingga pertumbuhan anak terhambat. Gejala giardiasis akut, biasanya berlalu dalam 1 minggu, dapat berlanjut menjadi khronis dengan gejala gangguan pencernaan dan penyerapan makanan menyebabkan penurunan berat badan, dan dehidrasi.
Anak-anak lebih sering menderita enteritis yang akut atau kronis dari pada orang dewasa. Infeksi pada anak-anak menghasilkan berbagai efek, nulai dari tanpa tanda-tanda yang bersifat kronis dan enteritis subakut. Juga termasuk pada tanda-tanda giardiasis ialah anoreksia, nausea, muntah, pusing, sakit kepala, sakit ulu hati, diare berselang-seling dengan konstipasi, kekurusan, dan anemia. Rasa sakit perut adalah tanda-tanda yang sering terjadi di daerah epigastrium dan kurang di daerah abdomen yang lebih bawah. Eeosinofilia 4 sampai 13 % pada penderita.

Diagnosis
Diagnosa Giardiasis hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan tinja. Kecurigaan pada Giardiasis, terutama diarahkan pada penderita yang mengalami diare, apalagi jika disokong oleh epidemiologi dan dengan adanya gejala klinik lain. Pada diare karena Giardia, biasanya tinja tidak berbau, disertai perut kembung, banyak buang angin, kramp usus dan pada pemeriksaan fisik, ditemukan perut kembung, bising usus yang berlebihan serta keluhan nyeri menyeluruh pada pemeriksaan raba (palpasi) perut.
Diagnosa dapat di buat dengan menemukan kista dalam tinja padat dan bentuk trofozoit dan kista dalam tinja encer. G. lamblia dapat dibedakan dari protozoa usus lainnya karena morfologinya khas dalam sediaan air garam, jodium, dan pewarnaan. Untuk menunjukkan kista Giardia dapat menggunakan teknik pengapungan dengan memakai larutan seng sulfat yang mempunyai berat jenis 1,8 dan kemudian meneteskan sedikit larutan Lugol-Jodine untuk mewarnai organismenya. Kista terlihat jelas dengan sitoplasma terpusat pada salah satu sisi dan ini dapat membantu untuk membedakan Giardia dari ookista Coccidia yang berukuran kecil (Callow, 1984).

Pengobatan
Obat yang paling sering digunakan dan merupakan obat pilihan kuinakrin yang aman dan efektif. Semua infeksi diobati secara rutin dengan dosis sebagai berikut, dewasa 100 mg tiga kali sehari dalam 5 hari, anak-anak 8 mg/kg sehari selama 5 hari. Dosis maksimal untuk orang dewasa sehari adalah 300 mg.
Pengobatan dengan metronidazol adalah sebagai berikut: dewasa, 250 mg dua kali sehari dalam 5 hari; anak-anak umur kurang dari dua tahun, 125 mg sehari selam 5 hari; umur 2-4 tahun, 250 mg sehari selama 5 hari, umur 4-8 tahun, 375 mg sehari selama 5 hari; dan umur lebih dari 9 tahun, 500 mg sehari selama 5 hari.
Kuinakrin per-oral (melalui mulut) sangat efektif untuk giardiasis. Tetapi obat ini bisa menimbulkan gangguan saluran pencernaan dan tingkah laku yang abnormal(jarang). Metronidazol juga efektif dan menimbulkan efek samping yang lebih sedikit, tetapi belum disahkan sebagai perngobatan untuk giardiasis oleh FDA. Furazolidon sebetulnya tidak seefektif kuinakrin atau metronidazol, tetapi karena tersedia dalam bentuk sirup, mudah diberikan untuk anak-anak.
Untuk wanita hamil bisa diberikan paromimosin, tetapi hanya jika gejalanya berat.

Pencegahan
Pencegahan terhadap Giardiasis dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sanitasi. Memasak air dan merebus makanan sampai matang adalah satu usaha yang dapat dilakukan sebagai pencegahan, karena giardiasis di tularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh kista Giardia.

Daftar pustaka
Giardiasis, NSW Health, http://www.health.nsw.gov.au
Andrian. Novan. 2008. Tugas Penyakit Parasitik.fkh.usk.banda aceh
http://www.indonesiaindonesia.com/f/11321-giardiasis/
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_152_Giardiasis.pdf/09_152_Giardiasis.html


di post oleh











Novan Andrian. S. Kh

Jumat, 29 Agustus 2008

maca artikel: Filariasis Limfatik


Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah .

Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe. Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.

Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia. Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial.


W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski hanya sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta manusia terinfeksi parasit ini di daerah subtropis dan tropis, meliputi Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Kepulauan Pasifik dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan vektor Culex fatigans dan Culex cuenquifasciatus di Indonesia. Vektor Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan vektor Aedes dapat ditemukan di daerah-daerah rural.

Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).
Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.

Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.

Jadi, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total.

Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.

Tokoh Utama Filariasis

Seluruh parasit filaria menjangkiti sekitar 170 juta orang di dunia dengan transmisi melalui nyamuk atau arthropoda lainnya. Parasit ini memiliki siklus hidup yang kompleks, meliputi stadium larva infektif yang dibawa oleh serangga menuju hospes definitif (hanya) manusia berkembang menjadi cacing dewasa di pembuluh limfe atau jaringan subkutan lain, misalnya mata pada Loa loa. Larva infektif yang disebut mikrofilaria ini berukuran panjang sekitar 200 hingga 250 µm serta lebar 5 hingga 7 µm yang bersarung. Bedanya, di antara W.bancrofti, B.malayi, dan B.timori, hanya B.timori yang sarungnya tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di mikroskop. Yang juga membedakan ketiga spesies ini, pada spesies Brugia, terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti jarak mulut, panjang tubuh.

Perkembangan dari larva muda hingga menjadi larva infektif di dalam tubuh nyamuk berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga menjadi cacing dewasa berlangusng selama 3 hingga 36 bulan. Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filaria.

Selain itu, jika sudah terpajan berulang kali dengan nyamuk vektor filarian ini, terdapat kekebalan yang cenderung meningkat. Jadi, orang-orang kampung yang sudah biasa digigit (dihisap) nyamuk Aedes atau Culex akan lebih kebal dibanding orang-orang kota yang kebetulan sedang bepergian ke daerah-daerah perkampungan yang endemis filariasis.

Tanda dan Gejala Klinis

Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini.

Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok –dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum –dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.

ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang.

Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia. Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.

Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port d’entrée dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

Diagnosis Praktis

Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit ialah menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi.

Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan hidrokel, atau kadang-kadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa secara mikroskopis secara langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit sudah mampu melewati filter pori silindris polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 µm). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan 2% formalin (teknik Knott) baru kemudian dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara spesifik dan sensitif.

Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan mesti diambil menurut perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa.

Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.

Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh limfe.

Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas sistem limfe kongenital.

Pengobatan

Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik.

Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama.

Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu hidrokel bisa dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa dikurangi hingga menjadi sangat minim.

Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh parasit-parasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif.

Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan gejala ini.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia.


di edit oleh: Adhona bhajana N